Kau Tetap Kupertahankan

KAU TETAP  KUPERTAHANKAN

“Irma ayo bangun ini sudah lewat subuh,”ucap ibu, tangannya yang lembut sering kali mencubit tubuhku.Memang akhir –akhir  ini tidurku selalu pulas mungkin karena suhu yang dingin. Dengan setengah mata terpejam aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.Selepas shalat subuh akupun bersiap untuk berangkat sekolah.

“Bu aku berangkat dulu  assalamu‘alaikum “ aku berpamitan sambil mencium tangan ibu.

“Wa’alaikumsalam “ jawab ibu.

“Bapak aku berangkat dulu ya, assalamu‘alaikum”

“Wa’alaikumsalam…,eh Irma” bapak beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku.

“Ya,  Pak “ jawabku.

“Jangan sampai lupa sarapan, karena itu berguna untuk kesehatanmu”ujarnya.

Pertanyaan bapak sudah jadi makanan sehari-hariku sebelum berangkat sekolah.Meski menurutku itu terlalu over protektif. Namun,kuanggap  itu sebagai bentuk rasa sayangnya padaku.Aku hanya menganggukan kepala dan berlalu menuju sekolah.

 

“Hai Irma apa kabar?tumben kamu telat biasanya kamu yang datanng paling pagi” sapaPrita.Dia sahabatku sejak SD orangnya sangat sulit dibohongi, mungkin karena dia punya indra ke-6. Aku juga tidak tahu,yang jelas dia sangat mengerti aku.

“Halloooo….,Irma…” terdengar teriakan Prita memanggil,seketika lamunanku buyar.

“Ya,tadi kamu ngomong apa?“kataku.

“Pagi-pagi gini masih ngelamun aja,mikirin apa sih?”

“Aku gak mikirinapa-apa kok, kita ke kelas aja yuk” ajakku. Kami pun berjalan menuju kelas.

Di kelas, seperti biasa aku dan Prita belajar bersama sebelum guru datang.Berbeda dengankami,teman-temanku yang lain lebih suka dandan dan mengobrol. Entah apa yang menjadi buah bibir mereka.Suasana seketika hening saat Sang Gurumemasuki kelas.

“Pagi Anak-anak “sapanya ramah.

“Pagi, Bu……”jawab murid serentak.

Pelajaran hari ini dimulai dengan Biologi.Pelajaran yang paling favorit di kelasku.Mengapa tidak?sudah pelajarannya asyik, gurunya cantik pula. Tapi jangan salah paham dulu, itu juga menurut dari pendapat murid laki-laki.Anehnya mereka selalu sulit untuk menangkap materi tersebut.

“Sampai disini, apa ada pertanyaan ?”Ibu Ema mencoba memastikan apakah masih ada murid yang belum mengerti dengan penjelasannya itu.

“Saya, Bu …”Bima mengacungkan tangannya dengan penuh semangat.Perasaanku mendadak tak enak setiap dia mengajukan dirinya untuk bertanya.

“Ya, Bima apa yang mau kamu tanyakan?” kata Bu Ema.

“Maaf, Bu ngomong-ngomong saya mau tahu nomor handpone ibu berapa?”tanyanya.Tepat seperti dugaanku,dia berlaku aneh lagi.

“Untuk apa kamu menanyakan hal itu?”tanya Bu Ema heran.

“Ya…,biar saya bisa SMS ibu.Siapa tahu ada PR yang susah, jadi saya bisa nanya ke ibu”jawabnya santai.Dia memang anak rajin,itupun tergantung dari gurunya (maksudnya tergantung dari penampilan gurunya ‘Apa dia keren atau tidak?’).Seketika kelas menjadi ramai saat semua murid sibuk menyuraki Bima.

“Sudah..sudah,jangan ribut.Bima kalau kamu mau bertanya‘kan bisa di sekolah,Kenapa harus lewat SMS?” tanya Bu Ema.

“Saya gak tahan kalau liat muka ibu,nanti yang ada saya jatuh cinta lagi sama ibu” jawabnya malu-malu.Semua murid tertawa terbahak-bahak.’Dasar gombal’ucapku dalam hati.Bu Ema menarik napas perlahan, dia mencoba sabar menghadapi tingkah laku Bima.

“Cukup Bima, omongan kamu makin ngaco aja.Baik pelajaran kita sudahi sampai sini dulu, sekarang kalian semuaboleh istirahat “ujar Bu Ema.

Semua murid berhamburan keluar kelas.Seperti biasa aku  dan Prita pergi  ke perpustakaan untuk belajar. Sedang asyiknya memilih buku bacaan…….

“Hai Irma,hai Prita “sapa  seorang gadis pada kami.Spontan kami kaget.

“Anggi!!”teriak kami serentak.Perhatian  seluruh perpustakaan seolah terpusat pada kami. Sang pustakawan  menancapkan tatapan mautnya pada kami berdua pertanda ‘Jangan ribut!’.

“Sttt…, kalian ini pake teriak segala  kayak lihat hantu aja “tutur Anggi berbisik. Bagaimana kami tidak kaget,sebelumnya dia lulus dengan nilai yang sangat minim. Mustahil dia bisa masuk sekolah ini.Aku mulai mencium aroma ketidak jujuran disini.

“Kok kamu bisadisini? “tanyaPrita.

“ Aku ikut ujian susulan “jawabnya.

“Kapan?kok bisa? “tanyaku heran.

“Ya, gurunya ngasih kesempatan buat ujian susulan, kebetulan dia saudara papahku.”tuturnya.

“Terus?!”ucapku penasaran.

“Sejak itu aku  belajar dengan giat dan tekun, hasilnya aku lulus dengan nilai bagus ”Anggi mengakhiri ceritanya dengan bahagia.

“ Kamu hebat Gi!“Prita menunjukkan rasa bangganya dengan tepukan tangan yang pelan.

“ Aku juga kesini mau minta maaf  soal perlakuanku dulu sama kalian, terutama kamu Irma “tuturnya penuh rasa sesal.

“Dari dulu aku udah maafin kamu kok”ucapku lembut.Saking lamanya kami bertiga berbincang sampai lupa kalau inisudah waktunya masuk kelas.Aku dan Prita kembali ke kelas. Sementara itu, Anggi harus ke kantor guru  untuk urusan pembagian kelas.

Di kelas suasananya masih sama.Namun kali ini agak sedikit tegang.Pelajaran selanjutnya adalah Sejarah, hal yangpaling membosankan bagi murid.Untungnya Pak Bahar selaku guru punya 1000 jurus jitu menghadapi muridnya.Sering kali  Pak Bahar menyuruh murid ke depan untuk menceritakan sejarah jaman dulu yang membuat kami  pusing tujuh keliling.

Tak terasa kini tiba saatnya pulang.Para murid merasa lega, akhirnya mereka terbebas dari peristiwa yang hampir membuat mereka stres.

Sepulang  sekolah aku membantu ibu mengantar pesanan kue. Hal ini sudah menjadi mata pencaharian ibu guna membantu meringankan beban bapak karena biaya hidup yang sering menekan kami. Meski begitu, kami  tetap semangat dan tegar menjalani hidup.

Selesai mengatar pesanan  aku segera mengganti baju dan bersantai sejenak, sampai  tak sadar telah ketiduran. Sorenya, saat terbangun aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selepas sholat ashar aku membantu ibu memasak untuk  makan malam.

“Bapak mana ? “ aku baru tersadar kalau sejak tadi siang tidak melihatnya. Biasanya setiap waktu makan bapak selalu menanyakan keadanku di sekolah.

“Bapak sedang menjenguk nenek, tadi dia sempat  pamitan hanya saja tidak tega membangunkanmu “ibu coba menjelaskan agar aku mau mengerti. Malam ini kami hanya makan berdua, rasanya begitu sepi.Seperti ada yang hilang disini.

 

“Pagi Anak-anak ”sapa Bu Romlah, guru Matematika. Gaya bicaranya yang serius membuatku penasaran .

“Baik sekarang siapkan alat tulis kalian karena kita akan ulangan hari ini “ jelas Bu Romlah.Beliau sudah pasti membuat  kami semua kaget setengah mati.Yang lebih parah itu ulangan  yang dipenuhi rumus dan  pastinya diliputi dengan  angka-angka rumit. ‘Tapi aku belum siap !’jeritku dalam hati. Terlihat  murid yang lain sibuk menulis contekan  membuatku tertantang untuk …..’Tidak, tidak  boleh‘terdengar  suara hati menentang niatku untuk mencontek.

“Irma kok malah bengong sih, cepetan  Bu Romlah  bentar lagi datang “Prita berbisik sambil terburu-buru. Keadaan ini membuatnya tidak punya pilihan.

“Emang kita mau  ngapain ? “ tanyaku berbisik.

“Ya nyontek lah, abis mau gimana lagi gak ada cara lain “Prita terlihat sangat gelisah .’Apa yang harus aku lakukan!’ hatiku terus menjerit, tersirat dibenakku akan nasehat ibu ‘Dimana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun selalu pertahankan prinsipmu dan janganpernah goyah,‘tapi tidak ada pilihan lain!’. Semua ini serasa perlahan membuatku gila.Juga mengingatkanku pada peristiwa 3 tahun lalu, ketika itu aku masih duduk  di bangku SD.

 

Pagi itu aku masih kebingungan mencari kelas.Maklum namanya juga murid baru.

“Akhirnya, ketemu juga” tuturku girang.Kulihat seorang guru telah menungguku di sana.

“Assalamu’alaikum” sapaku.

“Wa’alaikumsalam” semua murid menjawab dengan ramah. Bu Mira selaku wali kelasdatang  mengahampiriku.

“Selamat datang, kami harap kamu betah bersekolah di sini”sambutnya.

“Silahkan, perkenalkan dirimu  “katanya. Akupun memperkenalkan diri mulai dari nama, hobi, alamat, dan lain sebagainya. Setelah itu, aku dipersilahkan duduk.

“Hai, aku Prita masih ingat” tutur Prita.

“Ya pastilah, aku nggakakan lupa sama tetangga sendiri” kataku meyakinkan.

“Hai aku Anggi” terdengar suara salah satu murid menghammpiriku.Wajahnya terlihat sinis padaku, kamipun bersalaman.

“Apa kamu gak merasa aneh?” Tanya Prita. Entah kenapa sejak tadi dia terlihat ketakutan.

“Nggak emang kenapa ?” tanyaku lagi.

“Itu…., sifatnya ke kamu, kayak menunjukkan rasa gak suka “ tutur Prita. Dia terus memperingatiku untuk selalu hati-hati pada Anggi.Kecantikan dan kepopulerannya membuat dia besar kepala.Wajar saja jika dia beersikap sinis pada setiap murid baru.Dia dan genknya selalu bertindak sewenang-wenang.Aku sendiri hanya manggut-manggut mendengar cerita Prita.Sejak pertama hingga pulang sekolah dia terus bercerita, aku jadi tidak bisa konsen terhadap materi yang disampaikan Bu Mira.

 

Sepulang sekolah aku dan keluarga berkemas membereskan rumah.Kami tinggal bersama nenek karena akhir-akhir ini beliau sering sakit-sakitan,Prita juga ikut membantu. Pokoknya seharian  ini kami sangat sibuk. Setelah semua beres kami pun tidur.

 

Keesokan harinya aku berangkat pagi sekali karena mendapat tugas piket.Semakin lama kelas semakin ramai.

“Irma kamu udah ngerjain PR belum?”tiba-tiba Sisil, salah satu dari genknya Anggi datang menghampiriku.

“Udah, emang kenapa?”tanyaku.

“Aku boleh liat ya, soalnya aku gak bisa ngerjainplease…”Sisil memohon padaku dengan wajah memelas.

“Ya udah, kalau gitu kita kerjain sama-sama.Biar sekalian aku ajarin gimana caranya”kataku.

“Itu sih kelamaan mending kita pakai cara cepat”bujuk Sisil. Dia terus memasang wajah manis padaku.

“Maksudnya?”tanyaku heran.Sisil semakin mendekatiku, pandangannya mengarah pada buku PRku.Tiba-tiba “Hap”dia berhasil mencuri bukuku.

“Hai Teman-teman!!kita dapat contekan nih dari Irma. Dia baik ya…,”serunya.Secepat mungkin kurampas buku itu dari tangannya.Spontan semua murid kaget termasuk Sisil, wajahnya mulai terlihat seram.

“Kamu itu apa-apaan sih!!”bentaknya padaku.

“Maaf Sil, tapi aku gak bisa kasih buku ini ke kamu. Harusnya kamu usaha,bukan dengan cara seperti ini”tuturku tegas.

“Ya ampun Irma,kita disini cuman pengan liat buku kamu doang kok.Jadi orang itu jangan suka pelit,kecuali kalau kamu pengen kesepian”Anggi mulai ikut campur.Nada suaranya terdengar lembut namun sedikit mengancam.

“Iya nih,dasar pelit.Kalau mau jadi orang alim bukan disini tempatnya”celetuk Mary yang juga salah satu dari genknya Anggi. Semua murid termasuk Anggi and the genk menatapku lekat.Suasananya kian mencekam. Aku merasa seperti teroris yang akan menghadapi hukuman mati.

Suasana mendadak hening. Para murid  bergegas kembali ke bangkunya masing-masing saat seseorang memasuki kelas.

“Pagi Anak-anak ”sapanya.

“Pagi Bu…. “jawab murid serentak.

“Hari ini Bu Mira tidak masuk karena sakit, kita do’akan saja agar beliau lekas sembuh ,”tuturnya. Para murid mengamininya.

“Baik siapa diantara kalian yang belum mengenal ibu ?”tanyanya.

“Kamu sepertinya murid baru disini ”ucapnya sambil memandang padaku.

“Iya bu”ucapku ragu-ragu. Terus terangaku  masih sedikit tegang dengan peristiwa tadi. Terlebih hari ini juga prita tidak masuk karena sakit .

“Sekarang ibu akan memperkenalkan diri.Nama ibu Dinda Trihapsari tapi kalian cukup panggil Bu Dinda. Saya mengajar di kelas 6 ”jelasnya singkat.

“Sebelum belajar ibu ingin  tahu nama kalian terlebih dahulu.Terutama kamu”kata Bu Dinda sambil menatapku.Semua murid pun satu-persatu memperkenalkan diri dan kini tiba saat giliranku.

“Nama saya ….”belum sampat aku selesai berbicara.Tiba-tiba salah seorang murid menyambarku dengan hinaan dan cacian.Aku hanya diam.

“Sudah jangan ribut, silahkan teruskan ”kata Bu Dinda. Aku pun melanjutkannya kembali.Selama pelajaran berlangsung hatiku tak tenang dari tadi Anggi terus menatapku tajam.

Sepulang sekolah tak ada satu pun yang mau bareng denganku.Mereka terlalu takut untuk berurusan dengan Anggi dan genknya.

 

Sejak saat itu hari-hariku terus diliputi kesepian.Prita yang tidak tahu apa-apa terpaksa menjauhiku seperti halnya murid yang lain. Meski begitu, diam-diam Prita masih memperhatikanku.Itu terlihat dari caranya menggagalkan setiap rencana Anggi untuk mengerjaiku.

 

Dua tahun berlalu ketika aku telah menduduki bangku kelas enam SD.’Aku harus giat belajar’tekadku dalam hati.Aku mematuskan untuk melupakan ketegangan dan kesepianku selama ini.Meski kenyataannya sulit,namun dukungan orang tuaku bisa sedikit meringankan beban pikiranku.

Keesokan harinya,Suasana disekolah masih sama.Aku masih tetap tenang dalam mengikuti pelajaran meski hati kadang tertekan setiap kali mendengar ancaman dari Anggi dan kawan-kawan.

Saat istirahat tiba,aku lekas menuju ke kantin karena tadi pagi belum sempat sarapan.Suasananya begitu bising.Sebagian besar murid memang memanfaat kantin sebagai tempat mengobrol. Sementara itu, aku sedanng asyik menyantap semangkuk bubur hangat dengan segelas teh manis sebagai penyegarnya.

“Sendirian aja, Kak?”tiba-tiba seorang murid menghampiriku.Tutur katanya serasa menyejukan hati.

“Iya nih,emangnya kenapa?”tanyaku.

“Aku boleh duduk disini gak”pintanya.

“Oh ya tentu saja boleh, silahkan”kataku, dari situ kami  berkenalan. Namanya Indah Pratiwi. Dia murid kelas 4. Dia terkenal sebagai anak yang pintar dan selalu meraih juara kelas

“Kamu pasti belajar dengan sangat giat”kataku menebak

“Kakak salah, aku itu jarang belajar.Malahan hampir enggak sama sekali” tuturnya santai.Betapa terkejutnya aku mendangar hal itu.

Dia kemudian bercerita tentang suatu les yang sedang diikutinya.Pembimbingnya adalah Bu Dinda.Katanya dia selalu memberi kunci jawaban dan bocoran soal ulangan pada setiap murid yang mengikuti les tersebut. Yang lebih mengagetkan lagi, setiap siswa ditanggung biaya sebesar Rp,100.000,00 perbulan untuk semua mata pelajaran. Tak terbayang  betapa besar keuntungan yang diperolehnya tanpa harus menguras tenaga dan keringat sedikit pun. Baru aku sadari ternyata budaya ketidakjujuran bukan hanya berasal dari pribadi siswa saja. Tapi juga dari kalangan guru tertentu sehingga mereka terdorong untuk  berlaku demikian tanpa rasa takut.

Aku terdiam sejenak.Diriku serasa berada dalam lautan kekecewaan, Bu Dinda yang selama ini kukira baik ternyata melakukan hal selicik itu.Sekarang tidak ada lagi yang bisa kupercaya kecuali diri sendiri.

 

Akhir-akhir ini aku sibuk belajar.Sebulan lagi UASBN. Bu Dinda juga selalu memujiku karena nilai yang bagus, itu membuat Anggi dan murid lainnya  semakinsentimenpadaku.

Hari itu aku libur untuk sementara.Tiba-tiba Bu Dinda menelepon rumahku untuk berbicara secara pribadi.Entah kenapa perasaanku mendadak tak enak.kami berdua bertemu di tamansekolah.Bu Dinda memulai pembicaraannya.

“Ibu tahu kamu anak yang baik dan rajin”tutur katanya yang sedikit serius membuatku menjadi penasaran.

“Karena itu nilaimu selalu bagus “tuturnya lagi. Itu mebuatku semakin tak sabar.

“Jadi ibu minta kamu mau membantu teman-temanmu yang lain saat ujian nanti”jelasnya.

“Maksudnya ibu minta saya untuk memberi contekan saat ujian”tuturku menebak.

“Ya bisa dibilang seperti itu”kata Bu Dinda lega.Dia mengira bahwa aku bersedia membantu.

“Maaf bu, tapi saya tidak bisa melakukan itu”kataku.Seketika itu kebahagiaan Bu Dinda berubah menjadi sebuah kekecewaan.

“Saya tidak mau menjerumuskan mereka”kataku lagi.Bu Dinda menarik nafas perlahan.Dia mencoba untuk sedikit bersabar menghadapiku.

“Ibu tahu sifat kamu,tapi ini semua demi nama baik sekolah”Bu Dinda mencoba membujukku.

“Maaf bu kalau saya lancang,tapi menurut saya nasib siswa dan nama baik sekolah itu bergantung pada perilaku pendidiknya bukan pada murid biasa seperti saya”aku mencoba membuat Bu Dinda mengerti akan sikapku.

“Lagi pula percuma saja kami sekolah bertahun-tahun hanya demi menuntut ilmu kalau akhirnya itu tidak akan digunakan sama sekali”aku mencoba mengakhiri penjelasanku. Kami b terdiam sejenak.

“Sekali lagi saya minta maaf bu”tuturku lagi dengan penuh menyesal.

“Baik, ibu hargai pendapat kamu.Tapi pikirkan lagi, apa kamu tidak ingin melakukan hal yang terbaik untuk sekolah?”tanyanya padaku.

“Tapi bu…..”belum sempat aku menjawabnya. Bu Dinda  langsung membawa tasnya, dia lalu menatapku lagi.

“Kamu bisa pikirkan itu dirumah.Ibu harap kamu mengambil keputusan dengan benar”katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Dirumah aku masih memikirkan perkataan Bu Dinda. Aku juga memikirkan tentang sikapku tadi padanya hatiku terus bertanya-tanya ‘apa benar yang kulakukan?’.Diriku serasa beradadalam kebimbangan yang mendalam.Aku terus berpikir semalaman hingga tidak bisa konsen belajar.Karena kelelahan aku pun akhirnya tertidur.

 

Tiba saatnya ujian.Aku melewatinya dengan hati tenang.Kuhiraukan teriakan teman-teman di sekelilingku.Prita juga terlihat tenang saat ujian meski sering kali terganggu oleh Anggi yang sejak tadi terus menanyakan jawaban soal.

Usai ujian,Bu Dinda datang menghampiriku. Aku tahu persis apa yang akan dibicarakannya.

“Jadi apa keputusanmu?”tanyanya penasaran karena tadi dia tidak mengawasi kami saat ujian. Dia mendapat bagian mengawas kelas lain.

“Saya sudah memutuskan  untuk tidak melakukannya bu”jawabku. Bu Dinda hanya diam dan berlalu meninggalkanku.

 

Selama masa ujian Bu Dinda terus membujukku. Dia tetap kekeh untuk memaksaku memberi contekan saat ujian demi nama baik sekolah. Saat itu juga aku terus berusaha menghindar darinya.

 

Tiba saatnya pengumuaman kelulusan.Semua murid senang, sedikit dari mereka yang tidak lulus. Aku dan Prita gembira, kami lulus dengan nilai yang memuaskan. Sementara itu, anggi dan teman temannya harus menunggu setahun lagi untuk lulus mereka gugur dalam ujian karena mendapat nilai paling rendah selain itu mereka ketahuan mencontek saat ujian. Bu Mira datang menghampiriku dan mengucapkan selamat atas ketegaran dan usahaku selama ini.Dia adalah guru yang membuatku tetap bertahan selama di sekolah.Sejenakaku tersadar sejak tadi aku tidak melihat Bu Dinda di manapun.Aku tak menyangka usahaku selama ini menuai hasil.Selain nilai kelulusan yang cukup bagus teman teman yang semula memusuhiku datang meminta maaf padaku.Mereka menyesal kaarena selama ini telah meragukanku.

 

Dan peristiwa itu terulang lagi sekarang.Sama seperti saat ujian, hanya saja kali ini sedikit berbeda. Bu Romlah masih berada di kantor karena urusan penting. Sekarang aku tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya perlu yakin dan percaya pada kemampuanku, tidak peduli bagaimana hasilnya yang terpenting adalah proses.Aku juga bangga meskipun nanti hasil ulanganku tidak sesuai harapan karena itu merupakan bagian dari usahaku sendiri.

Kini diriku  baik dulu, sekarang maupun masa yang akan datang. Akan tetap teguh pada prinsip dan kejujuranku, tidak peduli apapun yang terjadi aku akan tetap mempertahankan kejujuranku sampai kapanpun.

*SELESAI*

SINOPSIS

Irma adalah seorang gadis yang terlahir dari keluarga sangat sederhana. Ketegaran dan kejujuran dia membuat orang tuanya bangga. Namun, hal itu sering kali membuat dirinya terlibat dalam berbagai masalah di kehidupanya.

Keadaan menjadi semakin rumit saat  dia hendak menghadapi sebuah peristiwa yang membuatnya hampir  terkena  tekanan batin. Akhirnya kejujurannya pun telah memuai hasil.